ARTIKEL

PENGUMUMAN KELULUSAN TP. 2022/2023



SUKARNYA MEMASYARAKATKAN PENDIDIKAN BROADCASTING

SUKARNYA MEMASYARAKATKAN PENDIDIKAN BROADCASTING – SEBUAH OPINI JUJUR

Oleh Ryandhika Rahman

Saat saya sekolah dulu sering sekali saya mendengar ungkapan sakti yang bunyinya seperti ini "pendidikan adalah modal utama membangun diri". Ungkapan yang semakin lama semakin saya amini kebenarannya. Kemudian ketika saya mengenyam bangku kuliah di jurusan komunikasi dan penyiaran saya mendapatkan jargon baru lagi, "Jika ingin menguasai dunia, kuasai lah media." yang lagi-lagi setelah kian dewasa saya memandang dan menjalani hidup dengan berbagai dinamika media, saya juga semakin meyakini keabsahan jargon tersebut.

Lalu jika kedua ungkapan tersebut ternyata sebegitu sahihnya, bagaimana jika keduanya dikombinasikan dalam satu kalimat utuh? Pendidikan Media, atau pendidikan menguasai media, atau pendidikan menyiarkan media, atau pendidikan tentang media? Apakah akan sangat meyakinkan sebagai sebuah studi yang bukan hanya prestis tapi juga menjadi sebuah bidang keilmuan yang menjanjikan peran besar bagi para pelakunya dalam mengarungi ketatnya persaingan di era saat ini?

Mari kita bergeser ke sisi yang lebih familiar. Media saat ini, khususnya digital bisa dibilang memberi pengaruh besar terhadap tingkah laku masyarakat dunia, tak hanya di Indonesia. Begitu ada yang viral, lalu 'digoreng' oleh media dengan berbagai bumbu yang sebenarnya poinnya hanya itu saja namun bisa membuat sekian persen populasi masyarakat dunia apalagi yang sempat mengakses informasi tentang itu, menjadi ikut terseret fenomena yang disebarkan si media. 

Masih ingat fenomena Om Telolet Om? Berbekal kebiasaan anak-anak di salah satu daerah di Indonesia yang gemar berdiri di pinggir jalan sembari menanti kedatangan bus lewat yang ketika datang para anak-anak ini langsung dengan semangat berteriak 'Om Telolet Om' sebagai tanda permintaan bunyi klakson khas dari bus tersebut yang biasanya akan dipenuhi oleh sang sopir. 

Hal tersebut kemudian dikemas oleh berbagai media dengan berbagai macam sudut, diakses oleh masyarakat secara luas. Lantas apa yang terjadi? Seperti yang sudah sama-sama kita tahu, hampir seluruh daerah di Indonesia seolah keracunan fenomena ini, bukan hanya anak-anak, tapi juga orang dewasa berdiri di pinggir jalan untuk meneriakkan hal yang sama ke tiap bus yang lewat. Lebih menakjubkan lagi, hal ini bahkan sampai diikuti ke luar negeri, mulai dari klub sepak bola ternama eropa, hingga para pesohor kenamaan dunia. Begitupun dengan fenomena lainnya yang muncul dan sempat ramai.

Lantas apa poinnya?

Kita melihat dengan pasti bahwa media lah yang menjadi sutradara akan semua kebisingan dan hal-hal viral ini. Jadi sudah bisa disimpulkan sesakti apa media? Nah, bagaimana jika diciptakan sebuah pendidikan yang khusus mempelajari bagaimana memahami dan mengorganisir media ini untuk bukan hanya mengolah sesuatu yang viral tapi juga sesuatu yang bisa membangun moral masyarakat?

Bagi kota-kota besar atau kota yang telah mapan kemampuan berpikir masyarakatnya tentang pentingnya peran media maka jalur pendidikan media menjadi sangat diidamkan dan menjelma sebagai salah satu destinasi pendidikan favorit bagi mereka atau anak-anak mereka. Beda hal dengan yang terjadi di kota-kota dengan kultur industri media yang 'tidak nampak' maka jalur pendidikan media atau kita sebut saja jurusan broadcasting menjadi jurusan studi yang begitu mudah dilupakan, apalagi jika dibandingkan dengan jurusan yang 'tampak lebih hidup di masyarakat' seperti otomotif, mesin, tata boga, dan sebagainya. Padahal jika boleh jujur, efek yang ditimbulkan media bisa jadi sama besar dengan apa yang ditimbulkannya di kota besar, namun entah mengapa hal itu belum juga mengangkat antusiasme masyarakat untuk menjadikan jurusan Broadcasting sebagai tujuan studi yang layak untuk dipilih.

Saya mengatakan ini bukan tanpa sebab, saya tinggal di Palangka Raya, kota yang konon katanya pernah menjadi impian Bung Karno untuk jadi ibu kota Indonesia, kota yang diakui sebagai salah satu kota dengan penataan ruang terbaik bahkan di Asia, kota terbesar di Kalimantan Tengah, dengan lahan yang masih luas dan masih memiliki banyak potensi keragaman industri kreatif meski dengan berbagai keterbatasan sarana dan pra sarana. Di Kota ini saya menggantungkan mimpi saya dengan berkuliah di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran bersama enam orang lainnya di angkatan saya.

Ya, anda tak salah baca, enam orang. Tujuh bersama saya, itu pun di tengah semester kehilangan satu personil yang memilih untuk pindah jurusan. Sebuah ironi, tentu saja. Ironi yang mungkin saja tak hanya terjadi di kota saya, tapi juga beberapa kota lainnya. Ironi mengingat betapa besarnya pengaruh media terhadap pola hidup manusia di zaman sekarang namun di kota saya - setidaknya- orang sama sekali tak berpikir ranah ini layak untuk disentuh sebagai tujuan pendidikan atau profesionalisme.

Jika kemudian yang menjadi dalih atas semua ini adalah karena di kota saya dan kota-kota lain yang bernasib sama tidak memiliki industri media massa yang kuat, seperti televisi lokal, media massa lokal, radio dan sebagainya yang bisa hidup mapan dan menghasilkan profit menjanjikan layaknya di kota seperti Jabodetabek, Surabaya, Jogja, Makassar, Medan, Bandung dan lain-lain maka saya dengan yakin menyanggah itu semua. Seandainya kita masih hidup di era tahun 90an atau mungkin di 2000an awal alasan tersebut bisa jadi memang masuk akal. Pada era tersebut media yang bisa diakses masyarakat hanya itu-itu saja, kalau bukan televisi, ya radio, atau media cetak, dan pilihannya terbatas.  Tapi saat ini zaman sudah jauh berkembang, bahkan bisa jadi jauh berkembang ketimbang manusianya. Kita tak perlu lagi sebuah stasiun televisi besar dengan pemancar, dengan kabel transmisi, dengan channel UHF, studio besar, alat-alat canggih, dan sebagainya untuk memproduksi sebuah konten informasi.  Hanya berbekal internet yang bahkan bisa dibeli dengan harga 10.000 perak dan kamera handphone minimal, kita sudah bisa menyebarkan informasi yang kita produksi ke seluruh belahan dunia, bisa mendapatkan income hingga jutaan atau bahkan ratusan juta. Jika dulu saat saya melamar jadi penyiar radio saya harus seleksi hingga hitungan minggu dan bersaing dengan ratusan orang, sekarang berbekal aplikasi podcast dan mik standar semua orang bisa berbicara dan mempublishnya ke dunia luar. 

Masih ingat bagaimana sebuah akun twitter bernama Zarry Hendrik dengan modal cuitan dengan 140 karakter bisa membawanya menjadi salah satu penulis ternama dengan penghasilan ratusan juta rupiah tanpa harus repot-repot mengirimkannya dulu ke berbagai media cetak? atau bagaimana Raditya Dika angkat nama lewat curhatan isengnya lewat blog pribadinya? apakah mereka semua perlu media mainstream seperti penerbit besar dan sebagainya? Tidak kan? Tapi mereka bisa sukses mendulang gelimang rupiah dan tentu saja ketenaran.

Hal ini sebenarnya memicu fenomena yang lebih serius, yaitu semakin bebasnya orang akan kreasi dan bukti eksistensi diri sehingga kerap melupakan batas norma dan tanggung jawab sosial. Sehingga terjadi yang sering kita temukan konten yang seharusnya tidak layak dipublish untuk umum atau bahkan tidak layak untuk dilakukan, mulai dari video viral bagi-bagi sampah, sosial eksperimen atau prank kepada ojek online, video kekerasan, tulisan yang sarat muatan kebencian, dan hal-hal lain yang parahnya bisa dengan mudah diakses oleh generasi mudah bahkan anak-anak yang belum mengerti apa itu arti tanggung jawab.  Ini tentu saja berdampak pada moral para penonton yang mengakses konten-konten seperti itu, hal-hal negatif jadi semakin cepat menyebar tanpa bisa dikontrol karena saking cepatnya arus informasi. 

Di saat inilah harapan pada para generasi dengan pengetahuan dan kemampuan broadcaster yang didapat dari jalur pendidikan bertumpu.  Sebagai orang yang tidak hanya diajari untuk mengenal tapi juga memilah dan mengorganisasi media dengan segala kontennya, tentunya mereka diharapkan mampu menetralkan informasi-informasi negatif dan memolesnya dengan konten-konten kreatif yang jauh lebih positif dan memberi inspirasi bagi orang lain.

Namun sekali lagi, tak banyak orang yang aware terhadap pendidikan broadcasting ini - setidaknya di kota saya - karena ada juga yang beralasan jenjang kerjanya tak jelas, peluang kerjanya masih sempit, modal kerjanya mahal, dan sebagainya. Padahal seandainya kita menyadari bahwa kita selalu butuh mereka para lulusan broadcasting ini, bukan hanya untuk membuat konten informasi untuk massa, tapi juga sesederhana mendokumentasikan berbagai kegiatan kita. Saya punya banyak teman yang bekerja di bidang videografi yang harga jasa mereka untuk sehari rekaman video pernikahan aja minimalnya 2-4 juta rupiah, untuk video lain beda lagi harganya. Atau teman saya yang seorang copy writter yang mengaku bisa menghasilkan 1,5 - 3 juta rupiah untuk setiap tulisan yang dipesankan kepadanya.  Itu semua adalah bukti nyata betapa ternyata pendidikan Broadcasting bukan hanya penting dalam mengontrol konten informasi yang beredar di masyarakat tapi juga menyiapkan para generasi yang siap berkarya positif, kreatif, dan tentu saja memiliki nilai jual tinggi di industri kerja.

Apa yang saya tulis tentang rendahnya minat orang terhadap pendidikan broadcasting ini bisa jadi tak berlaku di beberapa daerah, terutama di daerah yang kultur industrinya tak melulu tentang menjadi PNS atau pekerjaan yang 'terlihat menjanjikan' karena di Banjarmasin pun sebagai salah satu kota terdekat dengan kota saya tinggal jurusan broadcastingnya menjadi primadona, karena mungkin pola pikir masyarakatnya sudah jauh lebih terbuka tentang betapa besarnya bidang ini untuk dieksplorasi. 

Hal yang saya selalu harapkan bisa menjadi magnet yang juga terjadi di kota saya, Palangka Raya, dan kota-kota lain di Kalimantan Tengah dan daerah lain yang bernasib sama. Karena hanya di tangan orang-orang terpelajar dan berpendidikan sejalur lah moral masyarakat yang kadung terbentuk dari informasi yang mereka serap bisa lebih dikontrol ke arah yang lebih postif.

Sekali lagi saya ingat ungkapan agung itu, "Jika ingin menguasai dunia, maka kuasailah media."

Namun, jangankan menguasai, menyentuhnya pun kita tak akan bisa jika terlalu segan atau takut untuk memulai.

Sekian.

(Tulisan ini sudah pernah dimuat di Kompasiana pada 16 Maret 2021)

 

*Penulis adalah salah satu tenaga pendidik di SMK Muhammadiyah Palangka Raya

 

PENCARIAN


PENDAFTARAN PPDB TP. 2025/2026



KONTAK

Alamat :

Jl. Anggrek Lintas Mahir Mahar, Kel. Kereng Bangkirai, Kec. Sabangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Kode Pos 73113

Telepon :

0536 4287538 - 08115270666

Email :

smkmuhplk20@gmail.com

Website :

https://www.smkmuhplk.sch.id/

Media Sosial :