
CERPEN
PULANG
AKU menatap laut yang terbentang luas di hadapan ku, nampak memantulkan cahaya senja yang indah. Senja selalu saja mengagumkan meskipun hanya sebentar tetapi kesannya melekat sampai kapanpun. Sore ini aku mengunjungi pantai seusai kuliah, pikiran ku sedang kalut sekarang ini.
Oh ya, namaku Arga Bahir Fajar, Arga begitulah biasanya mereka menyapaku. Aku bukan asli orang kota ini. Aku anak kampung yang merantau untuk berkuliah di kota ini. Kota Palangka Raya. Di sini aku mengambil jurusan Farmasi. Aku mengambil jurusan ini karena ilmunya yang sangat mengagumkan jadi saat nanti sudah lulus dan pulang ke kampungku, pasti akan sangat membantu warga di sana secara di tempat kami obat-obatannya masih kurang memadai.
Aku
menatap pemandangan yang disuguhkan di depan mataku, sangat
indah pantai yang bersih dengan langit sore yang nampak berwarna oranye.
Sejenak aku merasa bebanku terbawa oleh ombak yang menenangkan.
‘’Masya Allah indah sekali ciptaan mu Ya
Allah, andai…..‘’
‘’Hei Rendi! Kembalikan mainan Anissa!’’
Ucapanku terpotong oleh suara yang
memekakkan telinga sekaligus mengejutkan. Sebenarnya jika orang lain yang
mendengar mungkin mereka tidak akan terkejut seperti diriku
saat ini, aku terkejut karena sebelumnya terlalu fokus kepada ciptaan
Allah yang begitu indah di sekitarku ini.
Aku menatap sekitar mencari sumber
suara tersebut oh ternyata suara yang memekikan telinga itu berasal
dari bocah perempuan berjilbab merah muda di sebelah mushola
sana dia nampak mengejar bocah laki-laki berkupiah hitam yang
kutebak namanya pasti Rendi.
Ada banyak anak-anak yang bermain
di samping mushola ada yang sedang bermain kelereng,
lompat tali,oh mereka juga bermain apa itu…. ketapel?! . Suasana di sini benar-benar mengingatkan ku pada kampung halaman apa lagi di saat bulan puasa seperti ini aduh semakin menambahkan rasa rindu saja.
Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an terdengar merdu dari mushola, anak-anak yang sedang bermain tadi berlarian menuju tempat berwudhu.
Aku beranjak menuju mushola yang tak
terlalu jauh dari tempat dudukku sebelumnya.
Saat sudah menginjakkan kaki di teras
mushola aku bergegas ke tempat wudhu lalu ikut membaca yasin,betapa
terkejutnya aku saat suara anak-anak laki-laki yang duduknya tak jauh
dari ku terdengar nyaring mengikuti bacaan sang imam bahagia sekali
melihat betapa antusiasnya anak-anak di sini, fokusku pada anak-anak
tadi buyar ketika seorang bapak-bapak menyodorkan gelas berisikan teh hangat
dan juga kue.
‘’Di minum ya den buat buka puasa
nanti.’’
‘‘Nggeh Pak terima kasih ya.’’
Beliau lalu tersenyum hangat
kepadaku kemudian beranjak membagikan teh dan kue kepada
jama’ah yang lainnya, aku melanjutkan membaca surah
yasin mengikuti imam.
Tepat sesudah selesai membaca yasin dan
salawat, bocah laki-laki yang sebelumnya kulihat sedang dikejar oleh bocah
perempuan tadi beranjak menuju ke ruangan yang ada di
samping mimbar, aku sempat mengernyit bingung
apa yang akan di lakukan bocah itu?
Saat keluar dari ruangan itu dia menuju ke
arah mic lalu mengumandangkan adzan, aku sempat
terperangah bukan hanya karena suaranya yang indah saja tapi bocah itu dengan gagahnya mengumandangkan adzan tanpa harus disuruh. Aku jadi teringat dulu waktu kecil saat masih seumuran mereka aku dan teman-temanku ketika berada di mushola pasti di suruh untuk Adzan dan kami akan saling menunjuk satu sama lain.
Sehabis melaksanakan berbuka puasa sekaligus sholat Tarawih aku memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar menikmati pemandangan langit malam yang bertabur bintang, Masya Allah indah sekali.
Sebenarnya aku sangat rindu kampung halaman ku tapi rasanya aku enggan untuk Kembali, aku mendudukkan diriku sambal memikirkan
kenapa?
Apa yang salah?
Apakah abah masih tidak ikhlas?
Jujur aku takut, marah, sedih perasaan
ku tercampur aduk setiap aku memikirkannya. Ku pejamkan mata ku sejenak
membiarkan angin malam menerpa wajah ku yang tampan, kata ibuku sih
aku tampan.
‘’Oy Mat kan sudah ku bilang aku titip
beli kembang sarainya tak amanah lah kamu ini Mat!’’
Aku membuka mataku melihat kearah suara
ternyata anak-anak yang sebelumnya ku lihat kali ini mereka sedang
bermain kembang api, aku jadi teringat ‘’eh tunggu-tunggu apasih perasaan
dari tadi aku nostalgia terus’’ sadar ku
‘’Permisi bang’,’ ‘’ASTAGHFIRULLAH!’’ Teriakku
setengah gagap.
Aduh kalau di ingat-ingat lagi selain sering bernostalgia hari ini aku sering sekali terkejut. Aku menengok ke arah bawah ada bocah laki-laki yang tadi memanggil ku.
‘’Saya?’’ ucap ku sembari menunjuk wajahku
sendiri.
‘’ Iyalah abang, siapa lagi orang yang mau
duduk di pohon tua begini malam-malam pula.’’
‘’Astaghfirullah, iya ya, ada perlu apa dek?’’
ucapku sembari beranjak dari tempat yang ku duduki sebelum nya lalu
mengikuti arah kemana bocah itu membawaku sampai samping mushola
yang sebelumnya ku singgahi.
‘’Nah sekarang kita bisa mulai permainan, tim ku sudah lengkap ini,’’ teriak bocah yang tadi menegurku lalu mereka yang awalnya memasang muka yang juga kebingungan mendekat kearah ku
‘’Ada apa ini? Kenapa dek?’’ Akupun tak
kalah bingung dari mereka, aku memutuskan beranjak dari sini tapi ku
urungkan ketika salah satu dari mereka bersuara.
‘’Bang perkenalkan nama saya Rendi!.’’
oh ya aku ingat dia bocah yang tadi azan.
‘’Aku Ahmad bang panggil saja Amat!.’’
nah ku tebak dia ini bocah yang tadi kena omeli temanmya.
‘’Nah kalau aku Faizal bang’’ Dia ini bocah
yang di pohon tua tadi,
‘’ Abang sendiri siapa Namanya?’’ tanya nya
padaku
‘’Oh, panggil aja abang Arga ya.’’
Aku memperkenal kan diri kepada mereka,
selanjutnya mereka heboh memperkenalkan diri mereka masing-masing
Kring… Kring… Kring…Suara dari saku ku
berhasil menjadikan suasana yang sebelumnya ramai jadi sunyi.
Aku merogoh kantung tas mengambil benda berbentuk pipih yang
terus saja berbunyi, ternyata ada telfon dari teman satu kosku
‘’Halo Assalamu’alaikum, ada apa Ris?’’
‘’Wa’alaikumussalam, Arga tadi ada paket
katanya dari orang tua mu nih mending balik ke kost an deh kelayapan
kemana si?’ oceh orang di seberang telfon. ‘’ iya, makasih sudah diambilkan,’’sahutku
singkat, lalu setelah panggilannya terputus aku
berpamitan kepada anak-anak yang sebelumnya ingin mengajakku bermain.
‘’ Yah belum juga mulai,’’ ucap Faizal
bocah yang tadi mengajakku ke sini.
‘’Maaf yah,Insya Allah lain kali kalau abang ke sini kita main lagi,’’Bujukku lalu berpamitan untuk pulang. Aku tiba di kosan pukul 20.56 WIB.
“Jadi gimana perasaan mu sekarang, sudah mendingan, kenapa tidak kau turuti saja permintaan ibumu? Kasian beliau menanggung rasa rindu yang amat lama’’ tanya Faris padaku.
‘’Alhamdullilah sudah mendingan, aku pun
tak kalah rindunya dengan beliau tapi Ris, aku masih ragu kau tau kan
hubungan ku dan abah tidak begitu baik,’’ ujar ku.
‘’Mau sampai kapan ego mu itu kau
pertahan kan Arga? Berdamailah sama abah mu beliau juga pasti tak mau
hubungan antara seorang abah dan anak nya menjadi renggang begini.’’
‘’Dasar kau, aku tidur sajalah, besok subuh tolong bangunkan aku sahur tidak ada penolakan ya ris,’’ ujarku seraya tersenyum dan dibalas pelototan olehnya.
Begitulah Faris dia teman ku sejak kali
pertama aku menginjakkan kaki ke kota ini untuk merantau.
Sayup-sayupku dengar suara orang memanggil namaku mataku rasanya sulit sekali di buka dan ketika aku membuka mata aku dikagetkan dengan wajah yang begitu besar, karena kaget aku langsung bangun dari posisi awal ku dan Alhasil jidat kami berdua terhantup cukup kencang.’’
‘’YA ALLAH,’’ teriak kami berdua bersamaan.
‘’Astaghfi rullah Agra ada apa sih?
Aduh jidat ku yang kinclong pasti ini benjol
dan bagaimana kalau ketampananku berkurang kau harus bertanggung
jawab kalau aku telat menikah!,’’ ucapnya melantur.
‘’Aduh ssshhh,,, Kamu ngapain juga tadi
begitu memang nya ada apa si malam-malam sudah bikin ulah, aduh jidat ku
ya Allah sakit,’’ balas ku.
‘’Malam apanya tuh alaram disamping
telinga jadi pajangan doang? Lagian nih ya yang nyuruh
bangunin tadi malam siapa juga, heran
saya’’ ujar Faris heboh.
‘’Ehm….Kamu ga mau tanya,
tanggung jawab nya bagaimana?’’ lagi
mimik wajah menjengkelkan itu lagi, sudah tertebak arah pikiran anak itu
kemana.
‘’Ambil aja, lagian ga mungkin adikku
kepicut sama kamu
hahaha,’’sahut ku cepat.
Setelah sahur kami bergegas ke masjid yang lumayan jauh dari kost, kami ikut bergabung bersama rombongan bapak-bapak yang juga akan ke masjid. Suasana subuh memang tak pernah mengecewakan sangat segar, Kali ini aku maju untuk mengumandangkan Azan tidak seperti dulu yang harus disuruh dan saling tunjuk-menunjuk. Selesai melakukan sholat berjama’ah aku memutuskan menyelesaikan sisa tugas kuliah dan berbenah kost.
Pada saat sudah selesai mengerjakan
semua nya aku memilih merebahkan badan ku sejenak, disaat seperti ini aku jadi
teringat abah ku lagi, benar kata Faris aku terlalu egois
tapi sungguh berat rasanya bertemu dengan beliau, sungguh aku malu
dan takut bertemu beliau waktu itu aku sudah keterlaluan. Lamunan
ku buyar di karenakan suara dari handphoneku yang menunjukkan nama
ibuku tumben sekali beliau menelfon di siang hari, piker aku.
‘’Hallo Bu, Assalamu’alaikum.‘’
‘’Wa’alaikumussalam, bang pulang ya? Abah
masuk RS udah tiga hari beliau nggak mau makan manggil nama kamu terus bang,
pulang ya nak ya?’’ ucap ibuku, seketika berhasil membuat
darahku mendesir.
‘’Ya Allah, ibu kenapa nggak ngabarin abang
dari awal?’’ Ucap ku bergetar
‘’Ibu nggak ngabarin kamu karena ibu pikir
sakitnya tidak sampai begini, ibu pikir abah kecapean saja…
’’Suara ibu yang begitu pilu menambah rasa
sayatan di dadaku semakin perih, aku ingin pulang. Benar saja, keputusanku
sudah bulat setelah mendengar kabar bahwa abah sakit aku
langsung saja merapikan barang-barang yang menurut ku penting akan
kubawa setelah semuanya sudah siap aku berpamitan dengan Faris.
Ragu-ragu aku memegang knop pintu
ruangan tempat abah dirawat. Semoga beliau tidur ucapku dalam
hati, tapi sepertinya waktu tidak berpihak pada ku, karena saat aku
menutup pintu ruangan mata kami bertemu.
Kali ini apa?
Apakah sebuah tamparan atau penolakan?
pikir ku waspada saat abah mencoba merubah posisinya menjadi duduk, beliau
menyuruhku mendekat ke arah beliau. Dengan ragu Aku
melangkahkan kakiku menuju kearah Abah yang masih menatapku dengan mata
tajamnya,
aku tak berani menatap abah aku takut,
malu, marah.
‘’Arga maafi n Abah ya nak?,
Abah menyesal tidak merestui kamu
Abah menyesal tidak menahan mu
Abah menyesal atau semuanya.
Abah terlalu egois.’’ ujar Abah,
butiran air yang menetes di tanganku membuat aku terkejut
aku mendongakkan kepala menatap Abah yang ternyata sedang
menangis.
‘’Abah, kenapa begitu? Arga yang harusnya minta maaf terlebih dahulu bah. Arga sudah keterlaluan waktu itu.’’ sungguh andai dulu aku tak mementingkan egoku hubungan kami tidak akan seperti ini, andai saja dulu aku tidak seketer laluan itu Ibu tidak akan sedih. Masih banyak andai lainnya yang ku sesali. Lari atau menghindar dari masalah tidak akan membuat masalah tersebut terselesaikan begitu saja, kita harus berani menghadapi atau setidak nya Pikirkan dulu jalan keluarnya. Waktu itu aku sangat menyesal, banyak andai-andai dan nanti-nanti lainnya yang kusesali. Tiga hari kemudian Abah diperbolehkan oleh dokter pulang dari rumah sakit dengan syarat obat yang diberikan harus dihabiskan.
Setelah Abah pulang dari rumah sakit aku memutuskan untuk tinggal lebih lama di kampung sampai habis lebaran daripada aku menyesal lagi iya kan? Oh ya tentang Faris dia juga pulang ke rumah orangtuanya sampai habis lebaran.
Faridhatun
Asyifa *
Siswa Kelas X SMK Kesehatan Muhammadiyah Palangkaraya Kalimantan Tengah